-->

Wayang onthel Magelang

Sepeda dimodifikasi menjadi bermacam bentuk sudah biasa. Namun membuat sepeda menjadi wayang, hanya komunitas Sepeda Tua Old Bikers Magelang yang melakukannya. Dengan wayang unik itu, mereka berkampanye tentang sehatnya bersepeda. LAYAR putih itu dibentangkan memanjang sekira lima meter. Ada gamelan, juga sinden. Ada pula gunungan (kelir) dan beberapa tokoh wayang. Tetapi, ini bukanlah pertunjukan wayang kulit, melainkan wayang onthel, seni pewayangan yang semua tokohnya dibikin dari onderdil sepeda onthel. 
wayang ontel magelang

Memang, piranti pementasannya amat sederhana, tak selengkap wayang kulit sungguhan. Karakter wayang yang dimunculkan juga hanya beberapa, tidak selengkap wayang ‘’resmi’’ di mana semua tokoh dijajar seluruhnya di sisi kanan-kiri dalang. Kesederhanaan itu juga berlaku dalam alur cerita. Si dalang tidak menceritakan Ramayana atau Mahabharata. Dalang mengangkat cerita kekinian yang sedikit dipoles dengan latar belakang cerita kerajaan-kerajaan jaman dahulu. Durasi pementasan lebih pendek, namun justru lebih praktis dan tidak menjemukan.

 Wayang-wayang yang digunakan dibuat dengan cara dan bahan-bahan unik. Berko atau lampu sepeda dijadikan kepala. Pedal untuk membuat tubuh, sementara tangan dan kaki dibuat dari sisa-sisa kabel rem. Bentuknya menyerupai wayang kulit, tapi tentu saja lebih berat. Maklum, bagian-bagian penyusun itu umumnya adalah besi. Tak ada pakem dalam membuat karakter wayang. Semua disesuaikan dengan onderdil yang tersedia. Yang pasti, kepala wayang selalu menggunakan berko. Tetapi untuk tubuh, tangan, dan kaki, bisa dirangkai dengan berbagai onderdil. Tak melulu pedal dan kabel rem. ‘’Yang penting bisa nyambung.

Tubuhnya terkadang menggunakan gir. Tak ada pakem harus menggunakan onderdil ini- itu, yang penting wujud wayangnya terbentuk,íí kata dalang wayang onthel, Andre Topo. Dia menceritakan, wayang onthel adalah milik dan karya Komunitas Sepeda Tua Old Bikers VOC Magelang. Mereka membuat itu berangkat dari kegemaran yang sama, yakni menyukai sepeda tua. Secara konsisten, komunitas ini menggelar kampanye transportasi ramah lingkungan dengan sepeda onthel.

Cerita yang dimunculkan dalam pementasan tak jauh dari persoalan sepeda dan lingkungan. Ketika pentas, saya merasa seperti orang yang sedang bercerita kepada anak-anak,íí katanya. Dia mengaku, cerita yang dipaparkan tak serumit alur cerita wayang kulit. Soalnya, penonton yang hadir tak semuanya menggemari wayang. Cerita lebih dekat ke persoalan kekinian, dan yang sering, ada bumbu guyonan. Sejarah Menurut Andre, masyarakat butuh hiburan yang berbeda. Itulah alasan dia selalu mementaskan wayang ontel dengan bumbu humor untuk mengocok perut penonton.

Di tengah cerita, barulah dia memunculkan pesan sesuai visi komunitas, mengajak masyarakat menggemari sepeda dan hidup yang lebih ramah pada lingkungan. Namun Andre mengakui, anggota komunitasnya yang konsen dengan seni pertunjukan pun tidak banyak. Hanya ada beberapa saja. Namun, semua anggota komunitas memberikan dukungan sesuai dengan keahlian. Dia mencontohkan, ilustrasi musik digarap sesuai dengan sumber daya manusia yang ada, menggabungkan instrumen musik Jawa seperti kendang, saron, dan gong dengan kunci pas, rem, juga bel sepeda.

‘’Dari perpaduan berbagai instrumen itu, justru muncul irama yang khas. Mungkin ini kebetulan karena tak banyak di antara mereka yang bisa bermain musik. Pokoknya hanya memukul-mukul besi dan kunci pas saja,’’ ujarnya. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu yang sudah populer, seperti ‘’Perahu Layar’’. Tapi, aransemen musik dan liriknya sudah dipermak. Menurut Andre, syair lagu diubah dengan ajakan untuk gemar bersepeda. Koordinator Komunitas Sepeda Tua Old Bikers VOC Magelang, Bagus Priyana, mengatakan, wayang onthel berawal dari keresahan anggota komunitas terhadap perilaku masyarakat yang sebagian besar sudah menanggalkan sepeda sebagai sarana transportasi.

‘’Kemudian kami berkumpul, berdiskusi panjang, bagaimana menciptakan hiburan yang tetap memiliki warna dan corak sepeda baik wujud maupun pesan yang disampaikan. Akhirnya lahirlah seni pertunjukan wayang onthel ini pada Januari 2006,íí katanya. Wayang onthel, menurutnya, sudah dipentaskan di berbagai kota, antara lain Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta. Pada Kongres Sepeda Indonesia (KSI) 17 Juli 2010 di Jakarta, wayang onthel berada satu panggung dengan seniman kondang seperti Djaduk Ferianto. Pada awalnya, dalam pementasan wayang onthel, selain memajang wayang dari onderdil sepeda juga wayang kulit asli.

Setelah dievaluasi dan disempurnakan, pada akhirnya disepakati hanya menggunakan wayang dari onderdil sepeda saja. Dengan model pertunjukan ini, masyarakat, khususnya anak-anak, lebih menyukai sehingga visi yang disampaikan bisa mengena. Job manggung, menurutnya, paling banter setahun empat kali. Itu pun datang dari lembaga yang memiliki visi sama dengan komunitasnya. Ide dan alur cerita juga bisa dipesan sesuai keinginan masyarakat. Dia mencontohkan, ketika dipanggil untuk tampil di sekolah, cerita tentang nilai budi luhur khusus untuk anak-anak dimasukkan dalam cerita. Menurutnya, si dalang lebih tahu bagaimana bercerita kepada anak-anak.

‘’Sebagian besar kru memiliki kesibukan bekerja. Karena itu, ketika akan tampil, kami harus mencari jadwal yang tepat agar mereka tidak membolos kerja atau menutup warungnya lebih awal,’’ kata Bagus. Bagus berharap, buah usaha komunitasnya ini bisa dipetik tahun- tahun mendatang, yakni dengan makin banyak orang menggunakan sepeda. (Sholahuddin al-Ahmed-43) 

http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=175685 http://madedeka.blogspot.com/2012/05/wayang-onthel-di-senayan-180710.html?m=1&zx=52462e4129e1b505
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner