MASJID DAN GAMELAN
Ketika pada suatu saat Kyai Chudlori yang
pernah berguru pada Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy’ari itu menerima rombongan
tamu dari sebuah desa (desa tepus 10 km
dari pesantren) Tamu-tamu itu memiliki
persoalan dan memerlukan sebuah solusi
dari Kyai Chudlori.
Mereka menceritakan bahwa pada saat itu
bondo deso (kas desa) yang terkumpul
sedang disengketakan oleh warga. Satu
fihak menginginkan kas desa digunakan
untuk merehabilitasi bangunan masjid.
Sedang sebagian warga yang lain
menginginkan kas desa itu digunakan
untuk membeli gamelan (seperangkat alat
musik tradisional jawa).
Musyawarah demi musyawarah warga desa itu tidak kunjung menghasilkan kesepakatan, dan satu-satunya kesepakatan yang mereka buat adalah meminta “fatwa” dari Kyai Chudlori. Betapa tercengang Gus Dur karena diluar dugaannya, Kyai Chudlori memberikan fatwa bahwa sebaiknya kas desa itu dibelikan gamelan. Hal yang sama juga terjadi di fihak warga yang menginginkan rehabilitasi masjid, mereka mempertanyakan fatwa Kyai Chudlori. Dengan jawaban singkat Kyai Chudlori menjawab, “Nanti kalau gamelannya sudah ada, kelak masjidnya akan jadi dengan sendirinya”. Mungkin peristiwa inilah awal perkenalan Gus Dur pada pemikiran kontroversi. Dan memang seperti yang dikatakan Kyai Chudlori, dikemudian hari masjid itu benar-benar bisa dibangun dengan kerukunan warganya.
Sebuah produk pemikiran yang menggambarkan kecerdasan emosi dan spiritual luar biasa tercermin dari fatwa Kyai Chudlori. Kyai yang menantu KH Dalhar pendiri Ponpes Watucongol itu sadar benar bahwa masjid bukan sebuah tujuan, melainkan sarana menuju Tuhan. Sedangkan untuk mewujudkan sarana itu mustahil terjadi tanpa kekuatan (dukungan) masyarakatnya. Sejurus dengan itu kekuatan masyarakat hanya akan terbentuk dengan soliditas (kerukunan). Kyai Chudlori memiliki visi yang kuat bahwa dengan alasan apapun masjid sebagai sebuah simbol agama tidak boleh menjadi pemicu konflik umat.Tidak boleh menjadi sumber konflik umat.
Musyawarah demi musyawarah warga desa itu tidak kunjung menghasilkan kesepakatan, dan satu-satunya kesepakatan yang mereka buat adalah meminta “fatwa” dari Kyai Chudlori. Betapa tercengang Gus Dur karena diluar dugaannya, Kyai Chudlori memberikan fatwa bahwa sebaiknya kas desa itu dibelikan gamelan. Hal yang sama juga terjadi di fihak warga yang menginginkan rehabilitasi masjid, mereka mempertanyakan fatwa Kyai Chudlori. Dengan jawaban singkat Kyai Chudlori menjawab, “Nanti kalau gamelannya sudah ada, kelak masjidnya akan jadi dengan sendirinya”. Mungkin peristiwa inilah awal perkenalan Gus Dur pada pemikiran kontroversi. Dan memang seperti yang dikatakan Kyai Chudlori, dikemudian hari masjid itu benar-benar bisa dibangun dengan kerukunan warganya.
Sebuah produk pemikiran yang menggambarkan kecerdasan emosi dan spiritual luar biasa tercermin dari fatwa Kyai Chudlori. Kyai yang menantu KH Dalhar pendiri Ponpes Watucongol itu sadar benar bahwa masjid bukan sebuah tujuan, melainkan sarana menuju Tuhan. Sedangkan untuk mewujudkan sarana itu mustahil terjadi tanpa kekuatan (dukungan) masyarakatnya. Sejurus dengan itu kekuatan masyarakat hanya akan terbentuk dengan soliditas (kerukunan). Kyai Chudlori memiliki visi yang kuat bahwa dengan alasan apapun masjid sebagai sebuah simbol agama tidak boleh menjadi pemicu konflik umat.Tidak boleh menjadi sumber konflik umat.