Bila di luar negeri sepert Amerika terkenal
dengan Patch Adams maka Indonesia juga
mempunyai seorang Patch Adams bernama
dr. Lo Siaw Ging. Dokter yang mengobati
tanpa meminta bayaran.
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah
sakit semakin membubung tinggi, tidak ada
yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging,
seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah.
Dia tetap merawat dan mengobati pasien
tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian
besar pasiennya justru tidak pernah
dimintai bayaran.
Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo
Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi
juga mereka yang berasal dari Sukoharjo,
Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan
Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75
tahun tak membuat pria itu menghentikan
kesibukannya memeriksa para pasien.
Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan
justru harus membayar tagihan dari apotek
atas resep-resep yang diambil para
pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada
saja pasien yang benar-benar tak punya
uang untuk menebus obat atau karena
penyakitnya memerlukan obat segera,
padahal si pasien tak membawa cukup
uang.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah
memeriksa dan menuliskan resep untuk
sang pasien, Lo langsung meminta pasien
dan keluarganya menebus obat ke apotek
yang memang telah menjadi langganannya.
Pasien atau keluarganya cukup membawa
resep yang telah ditandatangani Lo,
petugas di apotek akan memberikan obat
yang diperlukan.
Pada setiap akhir bulan, barulah pihak
apotek menagih harga obat tersebut
kepada Lo.
Berapa besar tagihannya?
”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10
juta per bulan.”
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita
sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke
Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan
mengantongi surat dari dokter Lo, pasien
biasanya diterima pihak rumah sakit, yang
lalu membebankan biaya perawatan kepada
Lo.
*Kerusuhan 1998*
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama
bagi kalangan warga tak mampu, relatif
”populer”. Namun, mantan Direktur RS
Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi.
Beberapa kali dia menolak permintaan
wawancara dari media.
”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya
bukan siapa-siapa,” ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini
sekadar membantu mereka yang tak
mampu dan membutuhkan pertolongan
dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa
dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang
istimewa,” ujarnya.
Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar
tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok
yang selalu bersedia menolong siapa pun
yang membutuhkan. Tak heran jika saat
terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei
1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini
justru dijaga ketat oleh masyarakat
setempat.
Lo juga tak merasa khawatir. Justru para
tetangga yang meminta dia tidak membuka
praktik pada masa kerusuhan itu mengingat
situasinya rawan, terutama bagi warga
keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak
permintaan itu, dia tetap menerima pasien
yang datang.
”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka
praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya
yang malah dimarahi dokter. Katanya,
dokter akan tetap buka praktik, kasihan
sama orang yang sudah datang jauh-jauh
mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto
(46), warga Purwodiningratan, yang
rumahnya tak jauh dari rumah Lo.
Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo
untuk mengevakuasi dia ke tempat yang
aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah
yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo
agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.
”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke
mana-mana. Buat apa?” ucapnya.
*Anugerah*
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah
anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang
dokter di Solo yang dikenal dengan nama
dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah
yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan
sang ayah kini telah tiada.
Lo selalu ingat pesan ayahnya saat
memutuskan belajar di sekolah kedokteran.
”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau
saya mau jadi dokter, ya jangan dagang.
Kalau mau dagang, jangan jadi dokter.
Makanya, siapa pun orang yang datang ke
sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka.
Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang
namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-
tahun tak pernah dia pasang. Kalau
belakangan ini dia memasang papan nama
praktik dokternya, itu karena harus
memenuhi peraturan pemerintah.
Tentang peran dokter Oen dalam dirinya,
Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia
bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan
sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa
sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-
harinya sederhana,” ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa
kebahagiaan justru muncul saat kita bisa
berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan
berarti saya tak menerima bayaran dari
pasien, tetapi kepuasan bisa membantu
sesama yang tidak bisa dibayar dengan
uang,” katanya sambil bercerita, sebagian
pasien yang datang dari desa suka
membawakan pisang untuknya.
Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa
pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari
cukup untuk membiayai kehidupannya
sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri,
Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi,
yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki
anak.
”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula
orang seumur saya, seberapa
banyak sih makannya?” ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak
pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua
anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang
selama puluhan tahun menjadi pasiennya
mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan
malam. Setiap kali saya datang tak pernah
tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada
kapan pun kami memerlukan.”
Kalau saja semangat Dr. Lo Siaw Ging ada
dalam diri kita semua Indonesia pasti maju
dan sejahtera.
DATA DIRI
• Nama: Lo Siaw Ging
• Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934
• Istri: Maria Gan May Kwee (62)
• Pendidikan: – Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, 1962 – S-2 (MARS)
Universitas Indonesia, 1995
• Profesi:
- Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi,
Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo)
- Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu,
Solo.