Selamat tahun baru buat semua kaum tionghoa di manapun Anda berada,seiring dengan perayaan tahun baru cina saya jadi teringat dengan perjuangan Almarhum Bpk KH Abdurrokhman Wahid dalam memperjuangkan aspirasi kaum tionghoa di Indonesia.Berikut ulasan yang kami petik dari www.nu.or.id tentang Gus dur yang dianggap sebagai bapak kaum tionghoa di Indonesia.
Diakui bahwa Gus Dur adalah pemimpin
negara yang pertama kali
memperjuangkan kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa di
Indonesia dalam posisi yang semestinya
sebagaimana warga negara yang lain
dalam posisi yang setara tanpa
terkecuali.
Perjuangan Gus Dur tersebut bukan
tanpa alasan.Etnis Tionghoa memiliki
peranan penting bagi Indonesia saat
ini.Sejarah bangsa ini mencatat
bagaimana warga Tionghoa ikut bahu-membahu dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia melawan
kolonial Belanda dengan menjadi
pemasok persenjataan.
Jauh sebelumnya,peran itu tertanam
kuat pada masa-masa kerajaan
nusantara.Ketika kerajaan Sriwijaya di
masa kehancuran dan pemerintahan
sedang kacau,etnis Tionghoa yang
memiliki keterikatan langsung dengan
Tiongkok mengambil inisiatif untuk
membangun pemerintahan sendiri agar
kekacauan di Palembang tidak berlarut-larut.Palembang baru memaklumatkan
diri berada di bawah kekuasaan
Majapahit di Jawa setelah Laksamana
Cheng Ho datang ke Palembang dan
mendirikan masyarakat IslamTionghoa
dan dipimpin oleh Arya Damar.
Kehidupan kelompok Tionghoa di
Nusantara, pada dasarnya telah
membaur dengan masyarakat pribumi.Kelompok pendatang Tionghoa yang
umumnya pedagang,banyak yang
menikah dengan perempuan pribumi.Begitu besarnya pengaruh pembauran
ini hingga mampu mempengaruhi
sejarah perkembangan kehidupan
kerajaan dengan para rajanya dan
perkembangan agama Islam dengan
para ulamanya. (hal. 44)
Masih segar dalam ingatan kita
bagaimana Gus Dur berjuang membela
etnis Tionghoa pada masa-masa sulit
tahun 1998.Dan langkah yang diambil
Gus Dur dianggap sulit diterima,bahkan
bertentangan dengan pendapat umum
yang menimpakan kesalahan pada
orang-orang Tionghoa sebagai
penyebab krisis ekonomi pada waktu
itu.Beberapa saat setelah tragedi Mei
1998,Gus Dur (yang waktu itu masih
menjabat Ketua Umum PBNU)
menyerukan kepada keturunan China
yang berada di luar negeri untuk segera
kembali ke Indonesia dan menjamin
keselamatan mereka.
Dan kepada warga
pribumi,Gus Dur menghimbau agar
mau menerima dan membaur dengan
warga keturunan Tionghoa tersebut.Perjuangan Gus Dur membela minoritas
Tionghoa semakin tegas ketika Ia
menjadi Presiden Republik Indonesia
keempat yang diwujudkannya memalui
berbagai kebijakan,Inpres No.14
tahun1967 yang kemudian dilanjutkan
oleh Megawati dengan penetapan Imlek
sebagai hari libur Nasional melalui
Kepres No.19 tahun 2002.Di saat bersamaan,Gus Dur juga
mengajak bangsa Indonesia
mewujudkan rekonsiliasi dengan China.Bukan semata-mata karena ia sendiri
keturunan China,tapi Gus Dur melihat
pada masa-masa mendatang China
sebagai suatu jaringan (guanxi) perlu
dirangkul untuk membangun kembali
perekonomian Indonesia yang baru saja
dilanda krisis hebat.Dan untuk
memulihkan ekonomi nasional,langkah
pertama yang ia lakukan adalah
memanggil kembali para pemilik modal
agar mau berinvestasi di Indonesia.
Gus
Dur yakin,suatu pemerintahan yang
tidak menerapkan politik rasialis,akan
membuat para "guanxi" merasa aman
menanam modal di Indonesia.Kelompok etnis Tionghoa dalam
wawasan kebangsaan Gus Dur adalah
sama dengan suku-etnis bangsa lain,seperti etnis-suku Jawa,Batak, Papua,Arab,India,Jepang dan Eropa yang
sudah lama hidup dan menjadi
penduduk atau warga negara
Indonesia.Mereka juga memilik hak
yang sama sebagai warga negara yang
sah sebagaimana diamanatkan oleh
UUD 1945(hal. 83-84)
Dan kini,ketika area perdagangan
bebas Asean-RRC dibuka,hubungan
dengan China tidak bisa dinafikan lagi.
Gus Dur sudah sejak awal menyiapkan
masuknya pengaruh China,bukan saja
dari sisi budaya, tapi juga ekonomi dan
bisnis.Namun sayangnya, bangunan
pandangan kebangsaan dan perjuangan
Gus Dur tersebut baru bisa dirasakan
relevansinya bagi kemajuan
perekonomian Indonesia sekarang,
setelah berpuluh tahun dan setelah
beliau wafat.
Gus Dur tetap Gus Dur,sulit dibaca dan
ditebak. Ia kokoh dalam pendirian dan
terus ngotot pada keyakinan yang
dianggapnya benar walau “nyeleneh”
bagi orang kebanyakan.Kegigihannya
membela kaum minoritas di Indonesia
membuatnya ditahbiskan sebagai Bapak
bagi kaum minoritas,sebagai payung
semua golongan yang tertindas dan
terpinggirkan.Namun yang jelas, sikap Gus Dur
tersebut tetap memiliki landasan yang
kuat dalam pandangan kebangsaan dan
keislaman, tidak lepas dari pengaruh
ayah dan kakeknya sebagai founding
fathers negara ini.
Pandangan
kebangsaan Gus Dur adalah berpegang
teguh pada prinsip-prinsip kebangsan
yang telah dibakukan para pendiri
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).Dan padangan keislamannya berpegang
pada prinsip tauhid dan sendi dasar
agama,menerjunkan diri sepenuhnya
pada perdamaian dan menebar
pertolongan sebagai pengabdian pada
kemanusiaan dalam ikatan tali
Ketuhanan,karena yang berhak disebut
Muslim sejati adalah mereka yang menerima prinsip-prinsip keimanan,
menjalankan ajaran (rukun) Islam
secara utuh, meneolong mereka yang
memerlukan pertolongan, menegakkan
prefesionalisme, dan bersikap sabar
ketika menghadapi cobaan dan
kesusahan(hal. 92).Dan terbitnya buku Bapak Tionghoa
Indonesia (Gus Dur) yang diterbitkan
oleh LKiS ini semakin menambah
panjang daftar deretan buku yang
mengkaji dan mengapresiasi pemikiran
dan sosok kenegarawanan Gus Dur.Kebesaran Gus Dur selain karena
pemikiran dan perjuangannya yang
terkenal humanis dan mengayomi juga
pengakuan yang tulus dari masyarakat
lintas agama,budaya,etnis dan dunia
kepada Gus Dur,tak terkecuali dari
kalangan etnis Tionghoa.
Judul: Bapak Tionghoa Indonesia
Penulis: MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF
Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: x + 170 halaman
Peresensi: Ahmad Syauq
Buku ini merupakan penegasan bahwa Gus Dur adalah ibarat mata air yang tak habis-habisnya sebagai sumber inspirasi dan perjuangan bagi generasi selanjutnya. * Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus PP Al-Falah Jember.